Dampak Psikologis Jerawat

 

Dampak psikologis jerawat

Jerawat bukan hanya masalah kulit biasa. Jerawat dapat membawa dampak psikologis yang signifikan. Dampak ini dapat mempengaruhi berbagai aspek kehidupan. Jerawat dapat membuat seseorang merasa malu dan tidak percaya diri dengan penampilannya. Hal ini dapat menyebabkan mereka menghindari interaksi sosial, merasa minder, dan sulit menerima diri sendiri.

Dampak psikologis dan sosial dialami oleh segala usia tetapi sebagian besar terjadi pada rentang umur 12 sampai 25 tahun. Hal ini menjadi masalah besar karena jerawat menyerang masa krusial ketika seseorang sedang mengembangkan kepribadiannya. Beberapa anak yang berjerawat menolak bersekolah, sehingga menyebabkan prestasi akademis yang buruk. Jerawat dapat mengurangi pilihan dan peluang karir terutama perempuan. Lihat saja dalam kualifikasi rekrutmen perusahaan di Indonesia selain jurusan, kemampuan, lulusan biasanya ada kalimat “berpenampilan menarik” dengan standar kecantikan yang tidak realistis. 

Standar kecantikan yang berlaku di masyarakat sering kali dikaitkan dengan fitur wajah tertentu seperti mata besar, hidung mancung, bibir tipis, kulit putih dan wajah mulus. Bentuk tubuh harus langsing dengan ukuran tertentu seperti kurus dan tinggi. Sehingga perempuan yang tidak mencapai standar kecantikan itu dianggap tidak cantik dan mendapatkan perlakuan yang tidak adil.

Di Indonesia, budaya beauty privilege masih kuat, di mana kulit mulus dan bebas jerawat sering kali dianggap sebagai standar kecantikan. Bagi penderita jerawat, beauty privilege dapat menjadi beban ganda. Di satu sisi, mereka harus berjuang melawan jerawat yang dapat mengganggu penampilan dan kepercayaan diri. Disisi lain, mereka juga harus menghadapi diskriminasi dan stigma yang terkait dengan jerawat.

Mengutip idntimes.com, survei yang dilakukan oleh MarkPlus, Inc dengan ZAP Clinic menyimpulkan bahwa beauty privilege di Indonesia dirasakan oleh tiga generasi para perempuan. Survei ini mengikutsertakan kurang lebih sejumlah 9.000 responden di 13 provinsi yang berbeda-beda.Umur responden pun juga sangat variatif, mulai dari 15-65 tahun.

Hal ini menunjukkan bahwa beauty privilege sangat dirasakan oleh para perempuan dari Generasi Z, Y, dan X. Semua responden berasal dari profil dan latar belakang yang beragam pun melambangkan adanya persepsi cantik sebagai hak istimewa di berbagai bidang.

Standar kecantikan yang tidak realistis dapat menyebabkan tekanan pada individu untuk memenuhi standar tersebut, yang dapat berakibat pada masalah kesehatan mental. Tekanan ini semakin terasa bagi mereka yang berjerawat. Memiliki kulit berjerawat saja sudah memberikan dampak psikologis yang signifikan, apalagi ditambah dengan adanya budaya beauty privilege di Indonesia membuat mental para penderita jerawat semakin depresi. 

Penelitian yang berjudul Psychological Impairments in the Patients with Acne yang dilakukan oleh Behnaz Behnam dan kawan-kawan. Tujuan penelitian ini untuk menyelidiki apakah jerawat dan tingkat keparahannya mempengaruhi psikologis penderita di kalangan masyarakat Iran.

Hasil penelitian ini mengungkapkan pengaruh negatif acne vulgaris terhadap status psikologis pasien bahwa semua gejala kejiwaan seperti somatisasi, obsesi, sensitivitas, depresi, kecemasan, permusuhan, fobia, ide paranoid, dan psikotisme berhubungan dengan kelainan kulit ini. Di sisi lain, semakin parah jerawat dan semakin lama durasinya, maka manifestasi psikologisnya pun semakin buruk. 

Penelitian ini juga menunjukkan bahwa sebagian besar penderita jerawat memerlukan konsultan psikologis karena terjadi gejala depresi dan psikotisme secara keseluruhan yang cukup tinggi pada pasien. Munculnya jerawat secara substansial menambah stres yang sangat besar yang membebani sebagian besar perempuan, terutama kaum muda di tengah masyarakat yang penuh tuntutan saat ini. 

Begitupun hasil studi kualitatif yang dilakukan oleh Parker Magin dan kawan-kawan yang berjudul Psychological sequelae of acne vulgaris mengungkapkan morbiditas psikologis cukup besar pada pasien jerawat dan gejala yang lebih menonjol adalah rasa malu, gangguan citra diri, harga diri rendah, kesadaran diri, frustasi, dan kemarahan.

Rasa malu dan frustasi dapat menyebabkan seseorang menarik diri dari aktivitas sosial karena takut penilaian dan komentar negatif dari orang lain dan merasa terisolasi. 

Jerawat juga dapat mengganggu kualitas hidup penderitanya. Pada beberapa orang, dampak psikologis penderita jerawat menyebabkan gejala depresi seperti kehilangan selera makan, kelesuan, gangguan suasana hati, masalah perilaku, susah tidur, menangis secara spontan dan perasaan tidak layak.

Banyak orang yang tidak memahami dampak psikologis jerawat dan bagaimana hal itu dapat mempengaruhi kehidupan seseorang. Mereka mungkin menganggap jerawat hanya sebagai masalah kulit biasa. Bahkan beberapa orang tidak berempati dengan penderita jerawat karena mereka sendiri tidak pernah mengalami kondisi ini sehingga mereka tidak peduli. 

Penderita jerawat sering ditinggalkan oleh sahabat bahkan pasangan. Biasanya mereka merasa jijik, tidak nyaman dan merasa malu ketika membawa pasangannya yang berjerawat ke acara sosial atau memperkenalkannya kepada orang lain. Hal ini membuat psikologis penderita jerawat semakin memburuk karena tidak mendapatkan dukungan dari orang terdekat. 

Jerawat yang parah umumnya memiliki dampak psikologis yang lebih besar daripada jerawat ringan. Terutama jerawat di area wajah yang terlihat jelas, dapat memiliki dampak psikologis yang lebih besar daripada jerawat di area lain tubuh. Kurangnya dukungan sosial dari keluarga dan teman dapat memperparah dampak psikologis jerawat. Penderita jerawat dan gejala gangguan psikologis yang muncul secara bersamaan memerlukan terapi jerawat yang lebih tepat. 

Penanganan jerawat secara holistik sangatlah penting untuk meningkatkan kualitas hidup penderita jerawat. Penderita jerawat harus mendapatkan pengobatan jerawat yang efektif dan perawatan untuk gangguan psikologisnya. Penanganan jerawat membutuhkan kerja sama yang erat antara dokter kulit dan psikiater. Dokter kulit bertanggung jawab atas pengobatan jerawat secara fisik, sedangkan psikiater membantu pengobatan gangguan psikologis dengan terapi dan konseling. Terapi anti jerawat tidak hanya bermanfaat untuk menyembuhkan jerawat, tetapi juga dapat berkontribusi terhadap kesehatan mental penderita.

Post a Comment

Post a Comment (0)

Previous Post Next Post